BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bank
adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat
dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian,
hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik
dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga
lainnya dengan imbalan bunga yang harus di bayarkan oleh masyarakat pengguna
jasa bank.
Asuransi
pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang
masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat
diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang anggota dari perkumpulan
tersebut, maka kerugian itu akan ditanggung bersama. Dalam setiap kehidupan
manusia senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya suatu malapetaka, musibah
dan bencana yang dapat melenyapkan dirinya atau berkurangnya nilai ekonomi
seseorang baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaannya yang
diakibatkan oleh meninggal dunia, kecelakaan, sakit, ataupun lanjut usia.
Kehilangn fungsi dari pada suatu benda, seperti kecelakaan, kehilangan akan
barang dan juga kebakaran.
Masyarakat muslim sekarang sangat
memerlukan asuransi untuk melindungi harta dan keluarga mereka dari akibat
musibah. Usaha yang sudah maju dan menguntungkan mungkin bisa bangkrut dalam
seketika ketika kebakaran melanda tempat usahanya. Keluarga yang terlantar
ditinggal pemberi nafkah, dan usaha yang bangkrut karena kebakaran sebenarnya
tidak perlu terjadi kalau saja ada perlindungan dari asuransi. Asuransi memang
tidak bisa mencegah musibah, tapi setidaknya bisa menanggulangi akibat keuangan
yang terjadi.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini, kami sebagai penulis merasa perlu mengungkapkan berbagai hal yang
ada kaitannya dengan judul makalah yang akan dibahas, dimana pada rumusan
masalah ini penulis akan membahas permasalahan tentang:
1. Apa
Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah?
2. Apa
Saja Produk Bank Konvensional?
3. Apa
Prinsip Perbankan Syariah?
4. Apa
Saja Produk Perbankan Syariah?
5. Apa
Fungsi Bank Umum Syariah?
6. Perbedaan
Bank Konvensional dan Bank Syariah?
7. Ketentuan
Deposito, Obligasi, dan Kredit Dalam Islam?
8. Perbedaan
Asuransi Konvensional dan Syariah?
C. Tujuan
Pembelajaran
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah :
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui definisi bank konvensional dan bank syariah
2. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Apa Saja Produk Bank Konvensional
3. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Apa saja Prinsip Perbankan Syariah
4. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Apa Saja Produk Perbankan Syariah
5. Agar
mahasiswa dapat mengetahui Fungsi Bank Umum Syariah
6. Agar
mahasiswa dapat mengetahui perbedaan bank konvensional dan bank syariah
7. Agar
mahasiswa dapat mengetahui ketentuan deposito, obligasi, dan kredit dalam islam
8. Agar
mahasiswa dapat mengetahui perbedaan asuransi konvensional dan syariah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bank Konvensional dan Bank Syariah
Bank
adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat
dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian,
hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik
dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga
lainnya dengan imbalan bunga yang harus di bayarkan oleh masyarakat pengguna
jasa bank.
Bank
konvensional adalah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk di salurkan
kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan
usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
Bank
islam atau bank syariah adalah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat
islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank
islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya
seperti berikut ini:
Cara-cara
bersih dari riba
Ø Mudarabah
Mudarabah
adalah kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi
hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian.
Dalam sistem mudarabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen
perusahaan.
Ø Musyarakah
Musyarakah
a dalah kerja sama antara pihak bank dan pengusaha dimana masing-masing
sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya
secara bersama-sama dan menanggung untung-ruginya secara bersama-sama pula.
Ø Wadi’ah
Wadi'ah
adalah jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah
dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah di sebutkan
diatas di pelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak
untuk menggunakan dana yang di titipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana
tersebut sewaktu-waktu pemiliknya memerlukan.
Ø Qardul
hasan
Qardul
hasan adalah pembiayaan lunak yang
diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya di
wajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan
ini hanya di berikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut
sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
B.
Produk
Bank Konvensional
a. Giro
Giro
dalam sistem konvensional, bank tidak membayar apapun kepada pemegangnya, malah
mengenakan biaya layanan (service charge). Selanjutnya dana ini akan dipakai
oleh bank untuk antara lain membiaya operasi bagi hasil. Sedang pembayaran terhadap
giro, dijamin sepenuhnya oleh bank dan dilihat sebagai jaminan depositor kepada
bank. Bentuk giro semacam ini di Iran dikenal dengan qard.
Giro
merupakan bentuk simpanan yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan
cek, surat perintah bayar yang lain, seperti bilyet, surat pemindahbukuan yang
lain. Dimana cek merupakan surat perintah pembayaran tanpa syarat, sedangkan
bilyet giro adalah surat perintah pemindahbukuan. Selain itu, giro dapat
ditarik setiap saat, sehingga giro diklompokan sebagai sumber dana jangla
pendek dan inilah alasanya mengapa giro memiliki biaya yang murah.
b. Tabungan
Berbeda
dengan giro, tabungan relatif fleksibel menyangkut berapa dan kapan bisa
ditarik oleh nasabah. Hal lain, tabungan di bank konvensional memiliki hasil
yang sudah pasti (fixed return). Untuk bank yang menjalankan prinsip syariah,
hasil pasti ini yang tidak ada. Sebagai gantinya, penabung memperoleh hasil
yang berfluktuasi sesuai dengan hasil yang diperoleh bank. Di sini ditampakkan,
bahwa penabung pun ikut menanggung renteng risiko dengan bank.
Tabungan
dalam sistem penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang
telah disepakati tetapi tidak bisa ditarik dengan menggunakan cek, bilyet giro
atau yang disamakan sengan itu. Syarat-syarat tertentu misalnya harus ditarik
secara tunai, penarikan hanya dalam kelipatan nominal tertentu, jumlah
penarikan tidak boleh melebihi saldo minimal tertentu.
Di
indonesia sendiri, produk tabungan pada prinsipnya mengikuti ketentuan BI yang
dalam SK Dir. BI No. 22/63 Kep. Dir. Tanggal 01-12-1989 bahwa syarat-syarat
penyelenggara tabungan adalah sebagai berikut:
1. Bank
hanya menyelenggarakan tabungan dalam bentuk rupiah
2. Ketentuan
mengenai penyelenggaraan tabungan ditetapkan oleh bank masing-masing
3. Penarikan
tabungan tidak dapat menggunkan cek, bilyet giro serta surat perintah bayar
yang lainnya yang sejenis.
4. Penarikkan
hanya dapat dilakukan dengan mendatangi
bank atau alat yang disediakan untuk keprluan tersebut misalnya Automatic
Teller Machine (ATM)
5. Bank
menyelenggarakan tabungan diperkenankan untuk menetapkan sendiri cara
pelayanan, sitem administrasi, setoran, frekwensi pengambilan, tabungan pasif,
timgkat suku bunga, sara perhitungan dan pembayaran bunga, pemberian hadiah,
nama tabungan.
6. Bunga
tabungna dikenakan pajak penghasilan (pph) sebesar 15% final untuk penduduk dan
20% untuk bukan penduduk. (Kep.Mentri Keu. No. 1308/KMK.04/1989).
c. Deposito
Jenis jasa perbankan ini, dalam sistem
bank konvensional akan memperoleh dua keuntungan: jaminan pembayaran pokok
ditambah hasil bunga yang tingkatnya sudah ditetapkan sebelumnya.
d. Rekening
antar Bank
Dalam bank konvensional,
rekening-rekening simpanan dan pinjaman antar bank; termasuk pinjaman dari bank sentral; semua diatur
berdasarkan bunga.
C.
Prinsip
Perbankan Syariah
Prinsip
syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh
sistem perbankan syariah antara lain : Pembayaran terhadap pinjaman dengan
nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak
diperbolehkan.
Pemberi
dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha
institusi yang meminjam dana. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang
dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena
tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur
Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam
islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat
karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.
D.
Produk
Perbankan Syariah
Beberapa
produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
a) Jasa untuk peminjam dana
Ø Mudhorobah,
adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan
yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian
ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh
kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti
penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Ø Musyarokah
(Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint
venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati
sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki
masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep
ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada
campur tangan
Ø Murobahah
, yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang
yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa
dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan
pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai
akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati.
Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang
dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang
disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. (asuransi islam).
b) Jasa
untuk penyimpan dana
Ø Wadi’ah
(jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil
dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban,
namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat
Indonesia-Shahibul Maal.
Ø Deposito
Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu.
Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan
dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
E.
Fungsi
Bank Umum Syariah
a. Manajemen
Investasi
Bank-bank Islam dapat melaksanakan
fungsi ini ber-dasarkan kontrak mudharabah atau kontrak perwakilan.
b. Investasi
Bank-bank Islam menginvestasikan dana
yang ditem-patkan pada dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening
investasi) dengan menggunakan alat-alat investasi yang konsisten dengan
syariah.
c. Jasa-Jasa
Keuangan
Bank Islam dapat juga menawarkan
berbagai jasa ke-uangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah
kontrak perwakilan atau penyewaan
d. Jasa
Sosial
Konsep perbankan Islam mengharuskan bank
Islam me-laksanakan jasa sosial, bisa melalui dana qardh (pinjaman kebajikan),
zakat, atau dana sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih jauh lagi,
konsep perbankan Islam juga mengharuskan bank Islam memainkan peran dalam
pengembangan sumber daya insani dan menyumbang dana bagi pemeliharaan serta
pengembangan lingkungan hidup
F.
Perbedaan
Bank Konvensional dan Syariah
Perlu
untuk dipahami, bahwa konotasi sebuah kata dalam bahasa Arab tidak terlepas
dari tiga bentuk. Pertama, konotasi etimologis (al-ma’na al lughawi). Riba secara etimologi bermakna ziyadah (tambahan). Dalam definisi lain
masih secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Kata riba juga
dimaknai dengan kelebihan, bertambah dari kuantitas sebelumnya. Riba juga
bermakna setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti
atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Maksud transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegiyimasi adanya
penambahan tersebut secara adil.
Kedua,
konotasi tradisional /konvensional (al-
ma’na al-‘urfi), yaitu makna kata tertentu yang biasa digunakan oleh Arab
untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis.
Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks
bahasa (lughawi) ke konteks tradisi.
Riba secara tradisional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan
pertambahan yang ditetapkan sebagai kompetensasi penangguhan utang.
Ketiga,
konotasi syar’I (al-ma’na al-syar’i)
yaitu makna yang dikehendaki oleh syariat melalui penggunaan kata tertentu,
bukan makna asal yang digunakan secara etimologis. Dalam konteks makna yang
ketiga ini, riba yang digunakan oleh syariat untuk menunjukkan pertambahan
akibat pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majiis tabaddul), seperti yang terjadi
dalam riba al-fadhl, atau pun
disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal)
seperti dalam riba al-nasi’ah.
Secara
garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua bagian. Masing-masing adalah riba
utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua adalah riba jual beli, yaitu riba
fadhl dan riba nasi’ah.
Riba
qardh yaitu suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap orang yang berutang
(muqtaridh). Riba jahiliyah adalah
utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba
fadhl yaitu pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan
itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang umurnya sudah cukup tua. Bahkan
pada zaman Arab Jahiliyah pun praktik riba telah ada dan mengakar dalam
kehidupan ekonomi orang Arab pra-Islam. Riba yang paling sering dipraktikkan
oleh bangsa Arab adalah riba dalam utang piutang. Sistem riba utang piutang
pada masa itu sama dengan kanibal. Oleh karena itulah pengharaman riba oleh
Allah dalam Al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap-tahap.
Dalam
konteks kehidupan modern saat ini, masalah riba erat kaitannya dengan sistem
bunga pada sistem perbankan. Bunga adalah hal yang telah disepakati
keharamannya oleh semua lapisan umat Islam.
Dalam
praktik perbankan konvensional (sebelum dibentuknya bank syariah), bunga
merupakan instrument penting dalam denyut nadi sebuah bank. Beberapa pandangan
kapitalis, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat
yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Pandangan
kapitalis itu diamini oleh banyak pihak, baik pejabat Negara dan direktur
perbankan, juga oleh para intelektual muslim terdidik dibanyak Negara muslim.
Pandangan
kapitalis tentang ekonomi berbasis bunga itu telah lama sebenarnya dibantah
oleh Allah dalam Al-Qur’an surah al-Rum ayat 39, yang artinya :
Apa yang kamu berikan (berupa
pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak
bertambah di sisi Allah.
Ayat
ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak
akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Sekalipun
banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang ada melarang riba dengan tegas dan
jelas, namun masih saja ada beberapa cendekiawan yang memberikan argumentasi
pembenaran atas pengambilan bunga. Alas an yang diajukan sebagai berikut :
a. Dalam
keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
b. Hanya
bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang ‘wajar’
dan tidak menzalimi, diperkenankan.
c. Bank,
sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadis riba.
Riba
merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikannya, misalnya dua pulih lima persen lebih tinggi dari yang
dipinjamkannya. Untuk itulah Islam mendorong umat Islam menjauhi sistem bunga
dalam sistem perbankan konvensional yang merupakan bagian dari praktik riba,
dengan memberikan solusi yaitu bagi hasil bagi pemilik dana.
Tabel
Perbedaan anatar Bungs dan Bagi Hasil
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan
asumsi harus selalu untung
|
a.
Pentenuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untuk rugi
|
b.
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan
|
b.
Berdasarkan rasio bagi hasil berdasarkan pada
jumlah keuntungan yang diperoleh
|
c.
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan
tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung
atau rugi
|
c.
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Bila usaha merugikan akan ditanggung bersama oleh kedua belah
pihak
|
d.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun
jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
|
d.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan
|
e.
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)
oleh semua agama, termasuk Islam
|
e.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
G. Ketentuan Deposito, Obligasi dan
Kredit dalam Islam
a) Ketentuan
Deposito dalam Islam
Dalam islam deposito
termasuk akad wadi’ah yang artinya
titipan uang, barang dan surah berharga. Lembaga fikih Islam wadi’ah ini bisa diterapkan oleh bank
Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat dengan dengan cara
menerima deposito berupa uang, barang dan suarah-surah berharga, sebagai amanat
yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam.
Dalam aplikasinya pada
perbankan syariah, akad penerima deposito adalah wadi’ah atau mudharabah dimana
bank sebagai penerima dana dari masyarakat berjangka 1, 3, 6, 12 bulan dan
seterusnya, sebagai penyertaan sementara pada bank. Deposan yang akad
depositonya wadi’ah mendapat nisbah
bagi hasil keuntungan yang lebih kecil daripada musdharabah dan bagi hasil yang diterima bak dalam
pembiayaan/kredit nasabah dibayar setiap bulan. Adapun Prinsip-prinsip Deposito
yaitu :
- Biaya
dan sedapat mungkin minimal, yaitu melalui pengaturan komposisi tertentu agar
biaya dana seminimal mungkin.
- Perlu
kestabilan porsi dana. Dana yang memiliki volalitas rendah dan relatif stabil
merupakan pendukung bagi manajemen liquiditas.
- Komposisi
sumber dana sedapat mungkin mendukung pelaksanaan komitmen pemberian kredit dan
penempatan aktiva produktif lainnya.
1. Deposito
Berjangka
Deposito merupakan
simpanan masyarakat atau pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan pada
waktu tertentu menurut perjanjian penyimpan (deposan) dengan bank yang
bersangkutan. Jangka waktu deposito pada umumnya terdiri dari 1 bulan, 3 bulan,
6 bulan, 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan. Deposito berjangka tidak bisa
diperdagangkan, namun bisa digunakan sebagai jaminan kredit.
2. Sertifikat
Deposito
Sertifikat deposito
pada prinsipnya sama sengan deposito berjangka yaitu simpanan dana pihak
ketiga/ masyarakat dan terikat oleh jangka waktu (fixed time). Perbedaannya
adalah sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk ( pembawa), sedangkan
deposito berjangka diterbitkan atas tunjuk (nama). Sebagai deposito yang
diterbitkan atas pembawa berarti siapa saja boleh menarik sertifikat deposito
selama bisa menunjukkan deposito tersebut kepada bank penerbit. Perbedaan
lainnya adlah bunga sertifikat deposito tersebut diperhitungkan dan dibayar
dimuka.
b) Ketentuan
obligasi dalam Islam
Obligasi berdasarkan
definisinya adalah suatu surah berharga jangka panjang yang bersifat uang yang dikeluarkan oleh
emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode
tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.
Berdasarkan definisi
tersebut maka dapat dikatakan bahwa obligasi adalah suatu produk yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam kegiatan usaha/bisnis
dikategorikan kegiatan tijarah. Obligasi
dalam kaca mata konvensional tidak dapat dilepaskan dari sistem riba/bunga.
Riba atau bunga jelas-jelas hukum haram sebagaimana yang terdapat dalam nash-nash baik dalam Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ ulama, fatwa-fatwa serta pendapat-pendapat ulama lainnya.
Obligasi syariah ialah
suatu surah berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan emiten pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
c) Ketentuan
Kredit dan Kartu Kredit dalam Islam
Ketentuan kredit dalam
Islam
Diantara salah satu
bentuk perniagaan yang marak dijalankan oleh masyarakat saat ini ialah jual
beli dengan cara kredit. Dahulu praktik perkreditan yang dijalankan di
masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekuensi langsung dari kesederhanaan
metode kehidupan yang di alami serta dinamika yang dijalani oleh masyarakat.
Pada masa lalu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode
langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi, saat ini
perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak
langsung dengan melibatkan pihak ketiga.
Kredit secara umum
adalah cara penjualan barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran
ditangguhkan atau diangsur). Definisi ini memiliki cakupan yang luas dalam
pembahasan fiqih muamalah kontemporer. Kredit juga dimaknai dengan membeli
barang dengan harga berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai dengan bila
dengan tenggang waktu.
Dalam kajian fiqih
muamalah jual beli secara kredit ini dikenal dengan nama al-bay’ al-taqshith atau al-bay’
bi al-tsaman ‘ajil. Taqshith secara etimologi adalah bermakna membagi
sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu secara terpisah. Secara terminology
syariah, jual beli secara kredit atau al-bay’
al-taqshith ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan
cicilan tertentu pada waktu tertentu dan lebih mahal daripada pembayaran
kontan/tunai.
Pada dasarnya kredit
adalah salah satu bentuk muamalah yang bertujuan untuk membantu sesama muslim. Jika
dilihat secara seksama, jual beli secara taqshith
(kredit) merupakan kebalikan dari jual beli secara salam atau salaf. Pada al-bay’ taqshith dan al-salam atau al-salaf terdapat kesamaan jenis dari sisi adanya perbedaan antara
harga dan barang. Jika pada al-salam atau
al-salaf, pembeli menyerahkan
harganya kepada penjual dan mengambil barang nya selang beberapa waktu kemudian
sesuai dengan perjanjiaan guna mendapatkan potongan harga, sedangkan dalam jual
beli secara taqshith penjual
menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur-angsur guna
mendapatkan tambahan harga.
Dasar hukum yang
digunakan dalam hukum bolehnya jual beli secara taqshith adalah Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282, yaitu :
Artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah: 282),
Pendapat
kedua mengatakan bahwa jual beli secara taqshith
(kredit) dilarang dengan tegas. Dasar hukumnya adalah keterangan Rasulullah
saw tentang larangan jual beli secara taqshith.
Dalil
dari hadis itu antara lainHadis dari Abu Hurayrah r.a., Rasylullah saw bersabda
: Siapa yang menjuak dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya
(harga) yang paling sedikit atau riba. Berdasarkan hadis ini, maka hukumnya
adalah haram jual beli secara taqshith (kredit) dengan adanya penambahan pada harga kredit
diatas harga kontan. Pada jual beli secara Taqshith
(kredit) juga terdapat dua
penjualan, yaitu secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga hal ini
tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu mengambil yang paling sedikit berupa
kontan melakukan riba dengan mengambil harga kredit.
Hukum
Kartu Kredit dalam Islam
Kartu kredit
dalam bahasa Arab disebut dengan bithaqah
I’timan. Bithaqah artinya seecara bahasa digunakan untuk potongan kertas
kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan
potongan kertas itu. Kata I’timan adalah
kondisi aman dan saling percaya.
Secara
terminologis kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti
uang tunai, yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa saja yang kita inginkan di
mana saja ada cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank, atau
perusahaan yang mengeluarkannya.
Definisi
lain kartu kredit ialah uang plastic diterbitkan oleh suatu instansi yang
memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atau transaksi yang
dilakukannya dan pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar
sejumlah bunga (finance charge) atau
sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.
Terdapat
beberapa perjanjian yang dikenal dalam sistem manajemen operasional perbankan
syariah yang berkaitan dengan kartu kredit, yaitu :
a. Al-‘ariyah (perjanjian
kredit).
b. Al-wakalah (perjanjian
pemberian kuasa).
c. Al-kafalah (perjanjian
penanggungan).
Ada beberapa ketentuan
dan batasan (dhawabuth wa hudud) syariah
charge card, yaitu :
a. Tidak
boleh menimbulkan riba;
b. Tidak
digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat;
c. Tidak
mendorong israf (pengeluaran yang
berlebihan antara lain dengan cara menetapkan pagu;
d. Tidak
mengakibatkan hutan yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn); dan
e. Pemegang
kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.
3.
Perbedaan
Asuransi Konvensional dan Syariah
Asuransi berasal dari
bahasa Inggris insurance, yang dalam
bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan kata
ertanggungan”.
Dalam pandangan Abbas
Salim, asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil
(sedikit), yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian
yang belum pasti.
Pengertian asuransi
menurut syariah/hukum Islam mengalami problematika dimana tidak ada satu
ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi baik dalam Al-Qur’an
maupun Hadis. Walaupun demikian ada beberapa pengertian asuransi syariah
menurut beberapa pendapat para pakar ulama Islam dengan versinya masing-masing
yang dapat dijadikan sebagai rujukan.
Jubran Ma’ud dan
Ar-Ra’id mengatakan. Asuransi dalam bahasa Arab disebut al-ta’min, penanggung disebut mu’tamin
diambil dari kata amana yang
artinya member perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya :
“Dialah Allah yang
mengamankan mereka dari ketakutan”. (Quraisy: 4).
Al-Fanjari mengartikan al-ta’min atau asuransi syariah yaitu
saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Menurut Ahmad Zarqa, makna
asuransi secara istilah adalah kejadian, namun pada intinya asuransi adalah
cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman)
bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan
hidupnya atau aktivitas ekonominya.
Asuransi syariah adalah
suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah,
tolong-menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.
Dalam pandangan Husain
Hamid Hisan, asuransi adalah sikap ta’awun
(tolong-menolong) yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara
sejumlah besar manusia yang mana semuanya telah siap mengantisipasi suatu
peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa maka semuanya saling
menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian/derma
yang diberikan oleh masing-masing peserta.
Mohammad Muslehuddin
dalam bukunya Asuransi Dalam Islam memberikan definisi asuransi adalah suatu
kelompok yang bertujuan memberntuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu
dan menghindari kesulitan pembiayaan.
Asuransi (al-ta’min) dalam Ensiklopedi Hukum Islam yaitu transaksi perjanjian antara dua pihak
dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi
sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Adapun
prinsip-prinsip asuransi Islam adalah :
1. Saling
bertanggung jawab
2. Saling
bekerja sama untuk bantu membantu
3. Saling
melindungi dari segala kesusahan
Ketentuan-ketentuan
dalam Islam yang berkaitan dengan asuransi adalah tidak boleh mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), dan riba. Unsur gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya,
yaitu akad tabadduli atau akad
pertukaran. Syarat dari akad tabadduli adalah
harus jelas besar pembayaran premi yang harus dibayar oleh peserta dan besar
uang pertanggungan yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menjadi tidak
jelas, karena tidak dapat ditentukan jumlah premi yang akan dibayarkan secara
tepat karena jumlah premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan
dalam menghindari sifat gharar ini
adalah dengan mengganti akad tabadduli dengan
akad takaffuli atau akad tabarru.
Para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan keabsahan praktik hukum asuransi. Kontrovensi
terhadap masalah asuransi dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu ulama yang
mengharamkan asuransi, diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah
al-Qalqili Mahdi Hasan, dan Mahmud Ali. Adapun alasan ulama yang mengharamkan
asuransi sebagai berikut :
1. Asuransi
termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya hukumnya haram
2. Asuransi
mengandung unsure perjudian yang dilarang dalam Islam
3. Asuransi
mengandung untuk ketidakpastian
4. Asuransi
mengandung unsure riba yang dilarang dalam Islam
5. Asuransi
termasuk jual-beli atau tukar-menukar mata uang secara tidak tunai
6. Asuransi
obyek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti
mendahului takdir Allah swt
7. Asuransi
mengandung unsure eksploitasi yang bersifat menekan
Ulama yang membolehkan
asuransi, diantaranya Abdul Wahhab Khallaf, Ibnu Abidin, Mustafa Ahmad Zarqa,
Muhammad Yusuf Musa, Syekh Ahmad asy-Syarbashi, Syeikh Muhammad al-Madani,
Syekh Muhammad Abu Zahra, Abdurrahman Isa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi.
Adapun alasan ulama memperbolehkan asuransi adalah sebagai berikut :
1. Tidak
terdapat nash Al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi
2. Dalam
asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
3. Asuransi
menguntungkan kedua belah pihak
4. Kemaslahatan usaha
asuransi lebih besar daripada mudharabnya
5. Asuransi
mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan
6. Asuransi
termasuk akad mudharabah antara
pemegang polis dengan perusahaan asuransi
7. Asuransi
termasuk kategori koperasi (syirkah
at-ta’awwuniyah), usaha bersama yang didasarkan pada prinsip
tolong-menolong yang diperbolehkan dalam Islam.
Pada awalnya asuransi
konvensional dibenarkan beroperasi untuk orang Islam, tetapi pada umumnya apa
saja bentuk kontrak yang dibuat dalam asuransi konvensional tidaklah
berdasarkan syariah, yang hal tersebut dilarang dalam Islam karena terdapatnya
perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya :
a. Asuransi
konvensional
1. Mengandung
unsure maysir (judi), gharar (unsure ketidakpastian), dan
riba. Hal ini tidak selaras dengan syariah Islam karena diharamkan dalam
muamalah.
2. Asuransi
konvensional nenas melakukan investasi pada sembarang tempat yang tidak terbatas
pada halal atau haram.
3. Asuransi
konvensional pengurus dianggap sebagai pekerja dan gajinya ditetapkan sebagai
karyawan biasa
4. Dalam
asuransi konvensional biaya agen ditanggung oleh nasabah
5. Dalam
asuransi konvensional seluruh premi baik yang diterima maupun yang akan
diterima diakui sebagai pendapatan
6. Dalam
asuransi konvensional investasi yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan
perusahaan
7. Asuransi
konvensional hukum yang dipakai yaitu hukum yang dibuat oleh manusia bersumber
dari pikiran manusia
8. Asuransi
konvensional Dewan Pengawas Syariah tidak ada sehingga dalam praktiknya
bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’.
b. Asuransi
Syariah
1. Dalam
asuransi syariah bersih dari maysir (judi),
gharar unsure ketidakpastian), dan
riba. Asuransi syariah mengandung prinsip mudharabah,
prinsip tolong-menolong dan saling menjamin antara para peserta asuransi
yang satu dengan peserta yang lain.
2. Asuransi
syariah investasi dilakukan pada hal-hal yang diizinkan syara’ seperti sector riil dengan proyek-proyek mudharabah atau pada pengusaha yang
sudah kuat
3. Asuransi
syariah antara pengurus dan pemilik melakukan kontrak mudharabah, pengurus sepenuhnya sebagai pelaksana dan tidak
mendapatkan gaji dari perusahaan
4. Asuransi
syariah biaya agen ditanggung oleh perusahaan
5. Asuransi
syariah uang premi nasabah yang terbentuk tabungan diakui sebagai utang,
pendapatan dan sebagai cadangan
6. Asuransi
syariah setiap investasi keuntungannya dibagi dua antara perusahaan dan nasabah
dengan prinsip yang adil
7. Asuransi
syariah dasar hukumnya bersumber dari
syariat Islam atau hukum Allah seperti Al-Qur’an dan Sunnah Rasul/Nabi
8. Asuransi
syariah ada Dewan Pengurus Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan
operasional perusahaan asuransi syariah
9. Asuransi
syariah menggunakan konsep akuntansi cash
basis yang mengakui apa yang telah ada sedangkan asuransi konvensional
menggunakan sistem akutansi accural basis
yang mengakui asset, biaya, kewajiban yang sebenarnya belum ada
10.
Asuransi syariah menggunakan sistem sharing of risk di mana terjadi proses
saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta’awun), sedangkan pada asuransi
konvensional yang dilakukan adalah transfer
of risk, di mana terjadi pengalihan risiko dari tertanggung (klien) kepada
penanggung (perusahaan).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lahirnya
ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan
ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena
dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan
menganjurkan sahodaqah.
Kesadaran
tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam
dan Asuransi dengan prinsip ekonomi syariah.
Bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam
untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta
larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini
tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Asuransi
adalah sebuah akad pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau
dalam hal ini adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya
(Mu’amman) sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu
berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai
dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau
terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan
uang (premi) yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari
klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat
hidupnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yunus, Mahmud, Studi Islam 2, Ratu Jaya, Medan: 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar