Sabtu, 19 Januari 2019

Makalah Bank Konvensional dan Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus di bayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang anggota dari perkumpulan tersebut, maka kerugian itu akan ditanggung bersama. Dalam setiap kehidupan manusia senantiasa menghadapi kemungkinan terjadinya suatu malapetaka, musibah dan bencana yang dapat melenyapkan dirinya atau berkurangnya nilai ekonomi seseorang baik terhadap diri sendiri, keluarga, atau perusahaannya yang diakibatkan oleh meninggal dunia, kecelakaan, sakit, ataupun lanjut usia. Kehilangn fungsi dari pada suatu benda, seperti kecelakaan, kehilangan akan barang dan juga kebakaran.
          Masyarakat muslim sekarang sangat memerlukan asuransi untuk melindungi harta dan keluarga mereka dari akibat musibah. Usaha yang sudah maju dan menguntungkan mungkin bisa bangkrut dalam seketika ketika kebakaran melanda tempat usahanya. Keluarga yang terlantar ditinggal pemberi nafkah, dan usaha yang bangkrut karena kebakaran sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja ada perlindungan dari asuransi. Asuransi memang tidak bisa mencegah musibah, tapi setidaknya bisa menanggulangi akibat keuangan yang terjadi.

B.   Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami sebagai penulis merasa perlu mengungkapkan berbagai hal yang ada kaitannya dengan judul makalah yang akan dibahas, dimana pada rumusan masalah ini penulis akan membahas permasalahan tentang:

1.     Apa Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah?
2.     Apa Saja Produk Bank Konvensional?
3.     Apa Prinsip Perbankan Syariah?
4.     Apa Saja Produk Perbankan Syariah?
5.     Apa Fungsi Bank Umum Syariah?
6.     Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah?
7.     Ketentuan Deposito, Obligasi, dan Kredit Dalam Islam?
8.     Perbedaan Asuransi Konvensional dan Syariah?

C.   Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1.     Agar mahasiswa dapat mengetahui definisi bank konvensional dan bank syariah
2.     Agar mahasiswa dapat mengetahui Apa Saja Produk Bank Konvensional
3.     Agar mahasiswa dapat mengetahui Apa saja Prinsip Perbankan Syariah
4.     Agar mahasiswa dapat mengetahui Apa Saja Produk Perbankan Syariah
5.     Agar mahasiswa dapat mengetahui Fungsi Bank Umum Syariah
6.     Agar mahasiswa dapat mengetahui perbedaan bank konvensional dan bank syariah
7.     Agar mahasiswa dapat mengetahui ketentuan deposito, obligasi, dan kredit dalam islam
8.     Agar mahasiswa dapat mengetahui perbedaan asuransi konvensional dan syariah







BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Bank Konvensional dan Bank Syariah
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus di bayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank konvensional adalah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk di salurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
Bank islam atau bank syariah adalah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut ini:
Cara-cara bersih dari riba
Ø Mudarabah
Mudarabah adalah kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem mudarabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
Ø Musyarakah
Musyarakah a dalah kerja sama antara pihak bank dan pengusaha dimana masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung-ruginya secara bersama-sama pula.
Ø Wadi’ah
Wadi'ah adalah jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah di sebutkan diatas di pelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang di titipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu-waktu pemiliknya memerlukan.
Ø Qardul hasan
Qardul hasan  adalah pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya di wajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya di berikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.

B.   Produk Bank Konvensional
a.      Giro
Giro dalam sistem konvensional, bank tidak membayar apapun kepada pemegangnya, malah mengenakan biaya layanan (service charge). Selanjutnya dana ini akan dipakai oleh bank untuk antara lain membiaya operasi bagi hasil. Sedang pembayaran terhadap giro, dijamin sepenuhnya oleh bank dan dilihat sebagai jaminan depositor kepada bank. Bentuk giro semacam ini di Iran dikenal dengan qard.
Giro merupakan bentuk simpanan yang penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan cek, surat perintah bayar yang lain, seperti bilyet, surat pemindahbukuan yang lain. Dimana cek merupakan surat perintah pembayaran tanpa syarat, sedangkan bilyet giro adalah surat perintah pemindahbukuan. Selain itu, giro dapat ditarik setiap saat, sehingga giro diklompokan sebagai sumber dana jangla pendek dan inilah alasanya mengapa giro memiliki biaya yang murah.        
b.     Tabungan
Berbeda dengan giro, tabungan relatif fleksibel menyangkut berapa dan kapan bisa ditarik oleh nasabah. Hal lain, tabungan di bank konvensional memiliki hasil yang sudah pasti (fixed return). Untuk bank yang menjalankan prinsip syariah, hasil pasti ini yang tidak ada. Sebagai gantinya, penabung memperoleh hasil yang berfluktuasi sesuai dengan hasil yang diperoleh bank. Di sini ditampakkan, bahwa penabung pun ikut menanggung renteng risiko dengan bank.
Tabungan dalam sistem penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati tetapi tidak bisa ditarik dengan menggunakan cek, bilyet giro atau yang disamakan sengan itu. Syarat-syarat tertentu misalnya harus ditarik secara tunai, penarikan hanya dalam kelipatan nominal tertentu, jumlah penarikan tidak boleh melebihi saldo minimal tertentu.
Di indonesia sendiri, produk tabungan pada prinsipnya mengikuti ketentuan BI yang dalam SK Dir. BI No. 22/63 Kep. Dir. Tanggal 01-12-1989 bahwa syarat-syarat penyelenggara tabungan adalah sebagai berikut:
1.     Bank hanya menyelenggarakan tabungan dalam bentuk rupiah
2.     Ketentuan mengenai penyelenggaraan tabungan ditetapkan oleh bank masing-masing
3.     Penarikan tabungan tidak dapat menggunkan cek, bilyet giro serta surat perintah bayar yang lainnya yang sejenis.
4.     Penarikkan hanya dapat dilakukan dengan  mendatangi bank atau alat yang disediakan untuk keprluan tersebut misalnya Automatic Teller Machine (ATM)
5.     Bank menyelenggarakan tabungan diperkenankan untuk menetapkan sendiri cara pelayanan, sitem administrasi, setoran, frekwensi pengambilan, tabungan pasif, timgkat suku bunga, sara perhitungan dan pembayaran bunga, pemberian hadiah, nama tabungan.
6.     Bunga tabungna dikenakan pajak penghasilan (pph) sebesar 15% final untuk penduduk dan 20% untuk bukan penduduk. (Kep.Mentri Keu. No. 1308/KMK.04/1989).
c.      Deposito
Jenis jasa perbankan ini, dalam sistem bank konvensional akan memperoleh dua keuntungan: jaminan pembayaran pokok ditambah hasil bunga yang tingkatnya sudah ditetapkan sebelumnya.
d.     Rekening antar Bank
Dalam bank konvensional, rekening-rekening simpanan dan pinjaman antar bank; termasuk  pinjaman dari bank sentral; semua diatur berdasarkan bunga.

C.   Prinsip Perbankan Syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain : Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana. Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi. Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah. Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.
                    
D.   Produk Perbankan Syariah
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
a)      Jasa untuk peminjam dana
Ø Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
Ø Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
Ø Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. (asuransi islam).

b)    Jasa untuk penyimpan dana
Ø Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
Ø Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

E.   Fungsi Bank Umum Syariah
a.      Manajemen Investasi
Bank-bank Islam dapat melaksanakan fungsi ini ber-dasarkan kontrak mudharabah atau kontrak perwakilan.
b.     Investasi
Bank-bank Islam menginvestasikan dana yang ditem-patkan pada dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening investasi) dengan menggunakan alat-alat investasi yang konsisten dengan syariah.
c.      Jasa-Jasa Keuangan
Bank Islam dapat juga menawarkan berbagai jasa ke-uangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah kontrak perwakilan atau penyewaan
d.     Jasa Sosial
Konsep perbankan Islam mengharuskan bank Islam me-laksanakan jasa sosial, bisa melalui dana qardh (pinjaman kebajikan), zakat, atau dana sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Lebih jauh lagi, konsep perbankan Islam juga mengharuskan bank Islam memainkan peran dalam pengembangan sumber daya insani dan menyumbang dana bagi pemeliharaan serta pengembangan lingkungan hidup

F.    Perbedaan Bank Konvensional dan Syariah
Perlu untuk dipahami, bahwa konotasi sebuah kata dalam bahasa Arab tidak terlepas dari tiga bentuk. Pertama, konotasi etimologis (al-ma’na al lughawi). Riba secara etimologi bermakna ziyadah (tambahan). Dalam definisi lain masih secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Kata riba juga dimaknai dengan kelebihan, bertambah dari kuantitas sebelumnya. Riba juga bermakna setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah. Maksud transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegiyimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Kedua, konotasi tradisional /konvensional (al- ma’na al-‘urfi), yaitu makna kata tertentu yang biasa digunakan oleh Arab untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis. Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks bahasa (lughawi) ke konteks tradisi. Riba secara tradisional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan pertambahan yang ditetapkan sebagai kompetensasi penangguhan utang.
Ketiga, konotasi syar’I (al-ma’na al-syar’i) yaitu makna yang dikehendaki oleh syariat melalui penggunaan kata tertentu, bukan makna asal yang digunakan secara etimologis. Dalam konteks makna yang ketiga ini, riba yang digunakan oleh syariat untuk menunjukkan pertambahan akibat pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majiis tabaddul), seperti yang terjadi dalam riba al-fadhl, atau pun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal) seperti dalam riba al-nasi’ah.
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua bagian. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua adalah riba jual beli, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
Riba qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap orang yang berutang (muqtaridh). Riba jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba fadhl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang umurnya sudah cukup tua. Bahkan pada zaman Arab Jahiliyah pun praktik riba telah ada dan mengakar dalam kehidupan ekonomi orang Arab pra-Islam. Riba yang paling sering dipraktikkan oleh bangsa Arab adalah riba dalam utang piutang. Sistem riba utang piutang pada masa itu sama dengan kanibal. Oleh karena itulah pengharaman riba oleh Allah dalam Al-Qur’an tidaklah berlangsung sekaligus melainkan bertahap-tahap.
Dalam konteks kehidupan modern saat ini, masalah riba erat kaitannya dengan sistem bunga pada sistem perbankan. Bunga adalah hal yang telah disepakati keharamannya oleh semua lapisan umat Islam.
Dalam praktik perbankan konvensional (sebelum dibentuknya bank syariah), bunga merupakan instrument penting dalam denyut nadi sebuah bank. Beberapa pandangan kapitalis, pinjaman dengan sistem bunga akan dapat membantu ekonomi masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat. Pandangan kapitalis itu diamini oleh banyak pihak, baik pejabat Negara dan direktur perbankan, juga oleh para intelektual muslim terdidik dibanyak Negara muslim.
Pandangan kapitalis tentang ekonomi berbasis bunga itu telah lama sebenarnya dibantah oleh Allah dalam Al-Qur’an surah al-Rum ayat 39, yang artinya :
Apa yang kamu berikan (berupa pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia bertambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah.
Ayat ini menyampaikan pesan moral, bahwa pinjaman (kredit) dengan sistem bunga tidak akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara agregat dan adil. Sekalipun banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang ada melarang riba dengan tegas dan jelas, namun masih saja ada beberapa cendekiawan yang memberikan argumentasi pembenaran atas pengambilan bunga. Alas an yang diajukan sebagai berikut :
a.      Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
b.     Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang ‘wajar’ dan tidak menzalimi, diperkenankan.
c.      Bank, sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadis riba.
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikannya, misalnya dua pulih lima persen lebih tinggi dari yang dipinjamkannya. Untuk itulah Islam mendorong umat Islam menjauhi sistem bunga dalam sistem perbankan konvensional yang merupakan bagian dari praktik riba, dengan memberikan solusi yaitu bagi hasil bagi pemilik dana.
Tabel Perbedaan anatar Bungs dan Bagi Hasil
BUNGA
BAGI HASIL

a.      Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.      Pentenuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untuk rugi
b.     Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
b.     Berdasarkan rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c.      Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
c.      Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugikan akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
d.     Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
d.     Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
e.      Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam
e.      Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

G.  Ketentuan Deposito, Obligasi dan Kredit dalam Islam
a)     Ketentuan Deposito dalam Islam
Dalam islam deposito termasuk akad wadi’ah yang artinya titipan uang, barang dan surah berharga. Lembaga fikih Islam wadi’ah ini bisa diterapkan oleh bank Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat dengan dengan cara menerima deposito berupa uang, barang dan suarah-surah berharga, sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh bank Islam.
Dalam aplikasinya pada perbankan syariah, akad penerima deposito adalah wadi’ah atau mudharabah dimana bank sebagai penerima dana dari masyarakat berjangka 1, 3, 6, 12 bulan dan seterusnya, sebagai penyertaan sementara pada bank. Deposan yang akad depositonya wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil keuntungan yang lebih kecil daripada musdharabah dan bagi hasil yang diterima bak dalam pembiayaan/kredit nasabah dibayar setiap bulan. Adapun Prinsip-prinsip Deposito yaitu :
-       Biaya dan sedapat mungkin minimal, yaitu melalui pengaturan komposisi tertentu agar biaya dana seminimal mungkin.
-       Perlu kestabilan porsi dana. Dana yang memiliki volalitas rendah dan relatif stabil merupakan pendukung bagi manajemen liquiditas.
-       Komposisi sumber dana sedapat mungkin mendukung pelaksanaan komitmen pemberian kredit dan penempatan aktiva produktif lainnya.
1.     Deposito Berjangka
Deposito merupakan simpanan masyarakat atau pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian penyimpan (deposan) dengan bank yang bersangkutan. Jangka waktu deposito pada umumnya terdiri dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan. Deposito berjangka tidak bisa diperdagangkan, namun bisa digunakan sebagai jaminan kredit.
2.     Sertifikat Deposito
Sertifikat deposito pada prinsipnya sama sengan deposito berjangka yaitu simpanan dana pihak ketiga/ masyarakat dan terikat oleh jangka waktu (fixed time). Perbedaannya adalah sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk ( pembawa), sedangkan deposito berjangka diterbitkan atas tunjuk (nama). Sebagai deposito yang diterbitkan atas pembawa berarti siapa saja boleh menarik sertifikat deposito selama bisa menunjukkan deposito tersebut kepada bank penerbit. Perbedaan lainnya adlah bunga sertifikat deposito tersebut diperhitungkan dan dibayar dimuka.
b)    Ketentuan obligasi dalam Islam
Obligasi berdasarkan definisinya adalah suatu surah berharga jangka panjang  yang bersifat uang yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi dengan kewajiban membayar bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo kepada pemegang obligasi.
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa obligasi adalah suatu produk yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam kegiatan usaha/bisnis dikategorikan kegiatan tijarah. Obligasi dalam kaca mata konvensional tidak dapat dilepaskan dari sistem riba/bunga. Riba atau bunga jelas-jelas hukum haram sebagaimana yang terdapat dalam nash-nash baik dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ ulama, fatwa-fatwa serta pendapat-pendapat ulama lainnya.
Obligasi syariah ialah suatu surah berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
c)     Ketentuan Kredit dan Kartu Kredit dalam Islam
Ketentuan kredit dalam Islam
Diantara salah satu bentuk perniagaan yang marak dijalankan oleh masyarakat saat ini ialah jual beli dengan cara kredit. Dahulu praktik perkreditan yang dijalankan di masyarakat sangat sederhana, sebagai konsekuensi langsung dari kesederhanaan metode kehidupan yang di alami serta dinamika yang dijalani oleh masyarakat. Pada masa lalu, transaksi ini hanya mengenal satu metode saja, yaitu metode langsung antara pemilik barang dengan konsumen. Akan tetapi, saat ini perkreditan telah berkembang dan mengenal metode baru, yaitu metode tidak langsung dengan melibatkan pihak ketiga.
Kredit secara umum adalah cara penjualan barang dengan pembayaran tidak secara tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Definisi ini memiliki cakupan yang luas dalam pembahasan fiqih muamalah kontemporer. Kredit juga dimaknai dengan membeli barang dengan harga berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai dengan bila dengan tenggang waktu.
Dalam kajian fiqih muamalah jual beli secara kredit ini dikenal dengan nama al-bay’ al-taqshith atau al-bay’ bi al-tsaman ‘ajil. Taqshith secara etimologi adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu secara terpisah. Secara terminology syariah, jual beli secara kredit atau al-bay’ al-taqshith ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu pada waktu tertentu dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai.
Pada dasarnya kredit adalah salah satu bentuk muamalah yang bertujuan untuk membantu sesama muslim. Jika dilihat secara seksama, jual beli secara taqshith (kredit) merupakan kebalikan dari jual beli secara salam atau salaf. Pada al-bay’ taqshith dan al-salam atau al-salaf terdapat kesamaan jenis dari sisi adanya perbedaan antara harga dan barang. Jika pada al-salam atau al-salaf, pembeli menyerahkan harganya kepada penjual dan mengambil barang nya selang beberapa waktu kemudian sesuai dengan perjanjiaan guna mendapatkan potongan harga, sedangkan dalam jual beli secara taqshith penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur-angsur guna mendapatkan tambahan harga.
Dasar hukum yang digunakan dalam hukum bolehnya jual beli secara taqshith adalah Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282, yaitu :
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah: 282),
          Pendapat kedua mengatakan bahwa jual beli secara taqshith (kredit) dilarang dengan tegas. Dasar hukumnya adalah keterangan Rasulullah saw tentang larangan jual beli secara taqshith.
          Dalil dari hadis itu antara lainHadis dari Abu Hurayrah r.a., Rasylullah saw bersabda : Siapa yang menjuak dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga) yang paling sedikit atau riba. Berdasarkan hadis ini, maka hukumnya adalah haram jual beli secara taqshith (kredit)  dengan adanya penambahan pada harga kredit diatas harga kontan. Pada jual beli secara Taqshith (kredit)  juga terdapat dua penjualan, yaitu secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga hal ini tidak terlepas dari dua kemungkinan, yaitu mengambil yang paling sedikit berupa kontan melakukan riba dengan mengambil harga kredit.
          Hukum Kartu Kredit dalam Islam
          Kartu kredit dalam bahasa Arab disebut dengan bithaqah I’timan. Bithaqah artinya seecara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Kata I’timan adalah kondisi aman dan saling percaya.
          Secara terminologis kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai, yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa saja yang kita inginkan di mana saja ada cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank, atau perusahaan yang mengeluarkannya.
          Definisi lain kartu kredit ialah uang plastic diterbitkan oleh suatu instansi yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atau transaksi yang dilakukannya dan pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran dengan membayar sejumlah bunga (finance charge) atau sekaligus pada waktu yang telah ditentukan.
          Terdapat beberapa perjanjian yang dikenal dalam sistem manajemen operasional perbankan syariah yang berkaitan dengan kartu kredit, yaitu :
a.      Al-‘ariyah (perjanjian kredit).
b.     Al-wakalah (perjanjian pemberian kuasa).
c.      Al-kafalah (perjanjian penanggungan).
Ada beberapa ketentuan dan batasan (dhawabuth wa hudud) syariah charge card, yaitu :
a.      Tidak boleh menimbulkan riba;
b.     Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat;
c.      Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan antara lain dengan cara menetapkan pagu;
d.     Tidak mengakibatkan hutan yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn); dan
e.      Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada waktunya.

3.     Perbedaan Asuransi Konvensional dan Syariah
Asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan kata ertanggungan”.
Dalam pandangan Abbas Salim, asuransi adalah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit), yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian yang belum pasti.
Pengertian asuransi menurut syariah/hukum Islam mengalami problematika dimana tidak ada satu ketentuan yang mengatur secara eksplisit tentang asuransi baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Walaupun demikian ada beberapa pengertian asuransi syariah menurut beberapa pendapat para pakar ulama Islam dengan versinya masing-masing yang dapat dijadikan sebagai rujukan.
Jubran Ma’ud dan Ar-Ra’id mengatakan. Asuransi dalam bahasa Arab disebut al-ta’min, penanggung disebut mu’tamin diambil dari kata amana yang artinya member perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Sebagaimana firman Allah, yang artinya :
“Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”. (Quraisy: 4).
Al-Fanjari mengartikan al-ta’min atau asuransi syariah yaitu saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Menurut Ahmad Zarqa, makna asuransi secara istilah adalah kejadian, namun pada intinya asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari risiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau aktivitas ekonominya.
Asuransi syariah adalah suatu pengaturan pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong-menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator.
Dalam pandangan Husain Hamid Hisan, asuransi adalah sikap ta’awun (tolong-menolong) yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia yang mana semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa, jika sebagian mereka mengalami peristiwa maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian/derma yang diberikan oleh masing-masing peserta.
Mohammad Muslehuddin dalam bukunya Asuransi Dalam Islam memberikan definisi asuransi adalah suatu kelompok yang bertujuan memberntuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.
Asuransi (al-ta’min) dalam Ensiklopedi Hukum Islam yaitu transaksi perjanjian antara dua pihak dimana pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Adapun prinsip-prinsip asuransi Islam adalah :
1.     Saling bertanggung jawab
2.     Saling bekerja sama untuk bantu membantu
3.     Saling melindungi dari segala kesusahan
Ketentuan-ketentuan dalam Islam yang berkaitan dengan asuransi adalah tidak boleh mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), dan riba. Unsur gharar dalam asuransi konvensional terletak pada bentuk akadnya, yaitu akad tabadduli atau akad pertukaran. Syarat dari akad tabadduli adalah harus jelas besar pembayaran premi yang harus dibayar oleh peserta dan besar uang pertanggungan yang akan diterima oleh peserta. Hal ini menjadi tidak jelas, karena tidak dapat ditentukan jumlah premi yang akan dibayarkan secara tepat karena jumlah premi amat tergantung pada takdir. Solusi yang dilakukan dalam menghindari sifat gharar ini adalah dengan mengganti akad tabadduli dengan akad takaffuli atau akad tabarru.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktik hukum asuransi. Kontrovensi terhadap masalah asuransi dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu ulama yang mengharamkan asuransi, diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili Mahdi Hasan, dan Mahmud Ali. Adapun alasan ulama yang mengharamkan asuransi sebagai berikut :
1.     Asuransi termasuk segala macam bentuk dan cara operasinya hukumnya haram
2.     Asuransi mengandung unsure perjudian yang dilarang dalam Islam
3.     Asuransi mengandung untuk ketidakpastian
4.     Asuransi mengandung unsure riba yang dilarang dalam Islam
5.     Asuransi termasuk jual-beli atau tukar-menukar mata uang secara tidak tunai
6.     Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah swt
7.     Asuransi mengandung unsure eksploitasi yang bersifat menekan
Ulama yang membolehkan asuransi, diantaranya Abdul Wahhab Khallaf, Ibnu Abidin, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Syekh Ahmad asy-Syarbashi, Syeikh Muhammad al-Madani, Syekh Muhammad Abu Zahra, Abdurrahman Isa, dan Muhammad Nejatullah Siddiqi. Adapun alasan ulama memperbolehkan asuransi adalah sebagai berikut :
1.     Tidak terdapat nash Al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi
2.     Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
3.     Asuransi menguntungkan kedua belah pihak
4.     Kemaslahatan usaha asuransi lebih besar daripada mudharabnya
5.     Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan
6.     Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi
7.     Asuransi termasuk kategori koperasi (syirkah at-ta’awwuniyah), usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong yang diperbolehkan dalam Islam.
Pada awalnya asuransi konvensional dibenarkan beroperasi untuk orang Islam, tetapi pada umumnya apa saja bentuk kontrak yang dibuat dalam asuransi konvensional tidaklah berdasarkan syariah, yang hal tersebut dilarang dalam Islam karena terdapatnya perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah, diantaranya :
a.      Asuransi konvensional
1.     Mengandung unsure maysir (judi), gharar (unsure ketidakpastian), dan riba. Hal ini tidak selaras dengan syariah Islam karena diharamkan dalam muamalah.
2.     Asuransi konvensional nenas melakukan investasi pada sembarang tempat yang tidak terbatas pada halal atau haram.
3.     Asuransi konvensional pengurus dianggap sebagai pekerja dan gajinya ditetapkan sebagai karyawan biasa
4.     Dalam asuransi konvensional biaya agen ditanggung oleh nasabah
5.     Dalam asuransi konvensional seluruh premi baik yang diterima maupun yang akan diterima diakui sebagai pendapatan
6.     Dalam asuransi konvensional investasi yang dilakukan bertujuan untuk kepentingan perusahaan
7.     Asuransi konvensional hukum yang dipakai yaitu hukum yang dibuat oleh manusia bersumber dari pikiran manusia
8.     Asuransi konvensional Dewan Pengawas Syariah tidak ada sehingga dalam praktiknya bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’.
b.     Asuransi Syariah
1.     Dalam asuransi syariah bersih dari maysir (judi), gharar unsure ketidakpastian), dan riba. Asuransi syariah mengandung prinsip mudharabah, prinsip tolong-menolong dan saling menjamin antara para peserta asuransi yang satu dengan peserta yang lain.
2.     Asuransi syariah investasi dilakukan pada hal-hal yang diizinkan syara’ seperti sector riil dengan proyek-proyek mudharabah atau pada pengusaha yang sudah kuat
3.     Asuransi syariah antara pengurus dan pemilik melakukan kontrak mudharabah, pengurus sepenuhnya sebagai pelaksana dan tidak mendapatkan gaji dari perusahaan
4.     Asuransi syariah biaya agen ditanggung oleh perusahaan
5.     Asuransi syariah uang premi nasabah yang terbentuk tabungan diakui sebagai utang, pendapatan dan sebagai cadangan
6.     Asuransi syariah setiap investasi keuntungannya dibagi dua antara perusahaan dan nasabah dengan prinsip yang adil
7.     Asuransi syariah  dasar hukumnya bersumber dari syariat Islam atau hukum Allah seperti Al-Qur’an dan Sunnah Rasul/Nabi
8.     Asuransi syariah ada Dewan Pengurus Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan asuransi syariah
9.     Asuransi syariah menggunakan konsep akuntansi cash basis yang mengakui apa yang telah ada sedangkan asuransi konvensional menggunakan sistem akutansi accural basis yang mengakui asset, biaya, kewajiban yang sebenarnya belum ada
10.                         Asuransi syariah menggunakan sistem sharing of risk di mana terjadi proses saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta’awun), sedangkan pada asuransi konvensional yang dilakukan adalah transfer of risk, di mana terjadi pengalihan risiko dari tertanggung (klien) kepada penanggung (perusahaan).  



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sahodaqah.
Kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam dan Asuransi dengan prinsip ekonomi syariah.
Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Asuransi adalah sebuah akad pertanggungan yang mengharuskan penanggung (mu’amin) atau dalam hal ini adalah perusahaan untuk memberikan kepada nasabah atau kliennya (Mu’amman) sejumlah harta sebagai konsekwensi daripada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun sesuai dengan yang tertera dalam akad ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya yang tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin, berkala maupun secara kontan dari klien atau nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi (mu’ammin) disaat hidupnya.






DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud, Studi Islam 2,  Ratu Jaya, Medan: 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar